SHALAT SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN KARAKTER

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan karakter menjadi isu menarik dan hangat dibicarakan kalangan praktisi pendidikan akhir-akhir ini. Hal ini karena dunia pendidikan selama ini dianggap terpasung oleh kepentingan-kepentingan yang absurd, hanya mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Output pendidikan memang menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.[1]
Dalam konteks yang demikian, pendidikan selama ini dianggap telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hedonis, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat (seperti kasus Akil Muchtar ketua Mahkamah Konstitusi, kasus Prof. Dr. Rudi Rubiandini cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus Gayus, kasus Malinda Dee, Nazaruddin, Presiden PKS Muhammad Lutfi Hasan, beberapa petinggi partai, dan masih banyak kasus lainnya), justru melibatkan orang-orang yang secara formal berpendidikan tidak rendah. Ini
artinya, pendidikan selama ini, setidaknya telah memiliki andil terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan negara ini tergolong sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia.[2]
Menyadari kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh dunia pendidikan, yakni pendidikan yang lebih fokus pada pembentukan karakter anak. Baik pendidikan yang dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Proses pentransferan nilai-nilai karakter perlu didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan karakter melalui beragam aktivitas dan metode/cara penyampaiannya.[3]
Pendidikan karakter dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Lickona mengartikan pendidikan karakter sebagai upaya penanaman nilai-nilai perilaku  (karakter) kepada warga sekolah (keluarga) yang mencakup komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai itu, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun masyarakat[4]. Menurut Harta,[5] pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Hal yang lebih utama, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga anak menjadi paham tentang mana yang baik dan salah (domain kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (domain afektif) dan mau melakukannya (domain psikomotor).
Dengan melihat realitas yang ada, maka dalam pemakalah mencoba memberikan alternatif solusinya kepada hadis-hadis Nabi SAW, dimana Rasulullah SAW membangun karakter sahabatnya, cara-cara mentransfer nilai-nilai karakter tersebut kepada para sahabatnya. Mengingat Rasulullah SAW diutus Allah SWT adalah untuk menyempurnakan akhlak[6] Karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku[7]
Al-Nahlawi mensinyalir bahwa dalam hadis, dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan juga membangkitkan semangat.[8] Hadis-hadis pilihan juga menjadi salah satu alternatif, selain pelajaran al-Qur'an, hikayat-hikayat orang shaleh yang disertai contoh perilaku mereka, merupakan alat pembinaan kesadaran beragama pada anak yang mempunyai pengaruh kuat untuk meluluhkan jiwa keagamaan pada anak. Kemampuan dasar tersebut merupakan hal fundamental pada usia anak untuk bisa mempelajari berbagai disiplin ilmu pada jenjang pendidikan yang akan ditempuh selanjutnya.[9]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hadis shalat relevan tentang pendidikan karakter masa sekarang?
2.      Bagaimanakah konsep hadis-hadis Nabi SAW dalam membangun karakter umat?
C.    Hadis Shalat tentang Pendidikan Karakter
Di bawah ini akan dipaparkan redaksi hadis-hadis yang terkait dengan pendidikan karakter lengkap dengan sanad dan matannya. Adapun hadis-hadis yang penulis gunakan landasan adalah yang berkaitan dengan pendidikan karakter, antara lain:[10]




Hadis di atas menceritakan tentang instruksi Rasulullah SAW kepada umat Islam agar memerintah anaknya untuk melaksanakan ibadah shalat ketika usia tujuh (7) tahun. Apabila pada usia 10 tahun si anak tetap tidak mau melaksanakan ibadah shalat, maka orang tua boleh memukul anaknya tersebut. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang bersifat mendidik, agar si anak mau melakukan shalat. Pukulan yang dimaksud bukan pukulan untuk menyakiti, tetapi untuk mendidik anak agar memiliki karakter keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.[11]
Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam agar dalam memberikan pendidikan kepada anak itu dilakukan secara bertahap. Pada usia 7 tahun anak sekedar diperintah untuk shalat, kalau tidak mau, tidak usah dipukul. Akan tetapi pada usia 10 tahun, ketika diperintah untuk shalat, anak tidak mau shalat, maka orang tua diperbolehkan untuk memukul anaknya pada bagian yang tidak membahayakan, misalnya, punggung; agar si anak mau melaksanakan shalat. [12]
Hadits yang memerintah shalat anak oleh orang tuanya sejalan dengan nilai-nilai karakter atau perilaku manusia terhadap Tuhan-Allah SWT. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan meliputi: taat kepada Tuhan, syukur, ikhlas, sabar, tawakkal (berserah diri kepada Tuhan)[13]
Hadits tentang perintah shalat kepada anak juga mengandung nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri mengandung karakter reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif, inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai, dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan tertib.
Hadits tentang perintah shalat jelas mengandung –antara lain- tuntunan untuk mencapai kedisiplinan waktu, tanggung jawab sebagai hamba Allah SWT, berfikir positif, sabar dan tabah dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhkan diri dari larangan Tuhan. Dalam menjalankan ibadah shalat, seseorang juga berarti melaksanakan refleksi diri dengan berkomunikasi langsung dengan Tuhan melalui ritual ibadah shalat.

D.    Konsep Hadis-hadis Nabi SAW dalam Membangun Karakter
Memahami hadis dapat dilakukan secara tekstual dan kontekstual. M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi meliputi dua hal, yaitu: 1. Dalam bidang ibadah mahdhah (murni) tidak ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah. 2. Dalam bidang di luar ibadah murni, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik baru yang menggantikan legal spesifik yang lama.[14]
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif) meliputi:[15]a. Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu dan intersubjektif. b. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental. c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, Mu’a>syarah bi al- ma’ru>f. d. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah) dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun
memasuki ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangat tergantung pada konteks si pelakunya.
Dalam pada itu, langkah-langkah pemahaman kontekstualisasi dapat dilakukan sebagai berikut:[16]1. Memahami teks-teks Hadis atau Sunnah untuk menemukan dan mengidentifikasi legal spesifik dan moral ideal dengan cara melihat konteks lingkungan awalnya, yaitu: Makkah, Madinah dan sekitarnya.[17]2. Memahami lingkungan baru dimana teks-teks akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan persamaannya. 3. Jika ternyata perbedaan-perbedaannya lebih esensial dari persamaan-persamaannya maka dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, maka nas-nas tersebut diaplikasikan dengan tanpa adanya penyesuaian.
Terkait dengan beberapa redaksi dan substansi hadis yang dipaparkan di atas, dimana hadis-hadis tersebut mengandung karakter manusia terhadap Tuhan, terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan terhadap lingkungannya, maka beberapa konsep pendidikan karakter yang dapat diungkap dari hadis Rasulullah SAW adalah sebagai berikut. Pertama, bahwa penanaman nilai-nilai karakter itu harus dilandasi dengan sebuah pengetahuan. Maka nilai-nilai karakter harus diperkenalkan terlebih dahulu kepada anak didik sebelum nilai-nilai tersebut ditanamkan kepadanya. Sebagaimana seorang non muslim yang kencing di dalam
masjid, oleh Rasul tidak ditindak dengan tegas, karena orang tersebut memang tidak tahu bahwa kencing di masjid itu tidak boleh. Jadi diberi pengetahuan terlebih dahulu, setelah tahu, diharapkan melakukan sebuah kebaikan. Kalau sudah tahu, tapi melanggar kebaikan, maka baru boleh ditindak.[18]
Kedua, penanaman nilai-nilai karakter itu harus dilakukan secara bertahap. Misalnya, ketika Rasulullah memerintah umatnya untuk menanamkan nilai-nilai karakter keimanan dalam bentuk melakukan shalat, maka beliau melakukannya secara bertahap. Dengan kata lain, seorang anak, pada usia 7 tahun, agar diperintahkan untuk shalat, dengan perintah yang lunak, tanpa harus ditindak tegas jika tidak mau shalat. Apabila pada usia 10 tahun diperintah shalat anak tidak mau shalat, maka orang tua boleh memukulnya dengan tujuan yang edukatif atau mendidik agar anaknya mau shalat.[19]
Ketiga, Rasulullah mmemiliki karakter kepedulian kepada anak, perempuan, dan sesama manusia. Hal itu dibuktikan dengan perilaku beliau, ketika sedang shalat, lalu mendengar anak kecil perempuan yang sedang menangis, yakni cucu beliau bernama Amamah binti Zainab, beliau kemudian mengambil anak tersebut dan menggendongnya, lalu melanjutkan shalatnya. Jadi dalam shalat, ketika posisi berdiri menggendong anak, ketika sujud anak yang digendong ditaruh.Perilaku Rasul ini jelas menunjukkan sikap atau karakter kepedulian kepada anak, perempuan, dan sesama serta lingkungan.[20]
Perilaku yang dicontohkan Rasulullah SAW tersebut di atas jelas masuk kategori perilaku atau karakter atau moral/akhlak yang mulia dan menunjukkan budi bekerti yang luhur. Akhlak/karakter yang mulia atau baik memang seharusnya dikembangkan oleh umat Islam. Akhlak/karakter mulia atau baik perlu dimiliki setiap manusia, karena akhlak/karakter mulia itu, baik bagi diri sendiri, keluarga dan bangsa. Lewis menyatakan bahwa akhlak/karakter seperti mengasihi, peduli, menghormati kehidupan, jujur, bertangung jawab, dan adil merupakan akhlak/ karakter positif. Mengembangkan karakter positif seseorang berhubungan dengan nurani, keyakinan-keyakinan moral, pengalaman pribadi, pola asuh, hak-hak dan tanggung jawab, kebudayaan, hukum serta ekspektasi-ekspektasinya yang
berhubungan dengan diri sendiri, sesama dan dengan dunia.[21]
Seseorang yang berperilaku kejam, rakus, suka berfoya-foya dikatakan berakhlak/berkarakter jelek atau berkarakter negatif, sementara berperilaku suka menolong, berhemat, dan sederhana dikatakan sebagai orang yang berakhlak/ berkarakter mulia. Jadi, istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Kaidah moral itu memiliki kaitan erat dengan nilai moral yang diyakini benar oleh sekelompok masyarakat. Nilai moral bisa dianggap sebagai perilaku, ketika berwujud tindakan yang
mencerminkan sikap seseorang.[22] Lickona[23] menambahkan bahwa memiliki pengetahuan nilai moral tidak cukup untuk menjadi manusia berkarakter. Namun, nilai moral itu harus disertai dengan karakter bermoral, dengan maksud agar manusia mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Termasuk karakter bermoral adalah pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral action).
Konsep pendidikan karakter yang dilakukan Rasulullah kepada para sahabat dan umatnya melalui hadits-haditsnya –dengan demikian- sejalan dengan teori-teori pendidikan karakter yang dikemukakan para ilmuwan masa sekarang. Rasulullah SAW sebagai mu’allim mendidik ummatnya dengan kepribadian yang luhur dan ajaran yang beliau ajarkan terhindar dari kesia-siaan. Materi yang beliau ajarkan senantiasa selaras dengan akhlaq yang beliau tampilkan. Hal ini dapat menerangkan kepada para peserta didiknya bahwa ilmu yang telah diajarkan tidak akan sia-sia, jika disertai dengan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari yang akan membawanya pada keberhasilan ummat[24].
Rasulullah diutus dengan tujuan yang sangat mulia yakni menyempurnakan akhlak (innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaq). Sebagai mu’allim, beliau tidak pernah menuntut kepada ummatnya untuk memahami ajarannya dengan cepat. Beliau akan selalu mengajarkan kepada siapapun yang mau berusaha belajar tentang Islam, beliau senantiasa sabar lagi rendah hati terhadap ummatnya yang memiliki daya penalaran lemah sekalipun. Rasulullah telah mengajarkan pada umat dengan menjadi sosok atau figur yang sangat memahami keadaan psikologi para peserta didiknya[25].
Beberapa metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah Muhammad SAW sejalan dengan metode pendidikan karakter pada umumnya, yakni: metode pembiasaan, metode keteladanan, metode nasihat, metode penanaman rasa ingin tahu, metode menampilkan prilaku yang luhur, dan beberapa metode lain yang sejenis[26].

E.     Kesimpulan
1.      Hadis shalat mengandung karakter atau perilaku manusia terhadap Tuhan yang akan mempengaruhi diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungannya. Beberapa konsep pendidikan karakter yang dapat diungkap dari hadis Rasulullah SAW tersebut adalah: Pertama, bahwa penanaman nilai-nilai karakter itu harus dilandasi dengan sebuah pengetahuan. Nilai-nilai karakter harus diperkenalkan terlebih dahulu kepada peserta didik sebelum nilai-nilai tersebut ditanamkan kepadanya. Kedua, penanaman nilai-nilai karakter itu harus dilakukan secara bertahap. Sebagai pendidik, Rasulullah SAW tidak pernah menuntut kepada ummatnya untuk memahami ajarannya dengan cepat. Ketiga, Rasulullah memiliki karakter kepedulian kepada anak, perempuan, dan sesama manusia.
2.      Konsep pendidikan karakter yang dilakukan Rasulullah kepada para sahabat dan umatnya melalui hadits-haditsnya sejalan dengan teori-teori pendidikan karakter yang dikemukakan para ilmuwan masa sekarang. Sebagai pendidik Rasulullah SAW mendidik ummatnya dengan kepribadian yang luhur. Materi yang beliau ajarkan senantiasa selaras dengan akhlaq yang beliau tampilkan. Beberapa metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah Muhammad SAW sejalan dengan metode pendidikan karakter pada umumnya, yakni: metode pembiasaan, keteladanan, nasihat, penanaman rasa ingin tahu, menampilkan prilaku yang luhur, dan sejenisnya.
























DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al-Rahman al-Nahlawi>, Usu>l al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Asa>li>buha>
(Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir), Cet. III.
Al-Hafid ‘Ali bin Abi Bakr bin Sulaiman al-Haitami, Ghayah al-Muqsid fi Zawaid al-
Musnad, Maktabah Shaid al-Fawa’id.
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence (New York: Bantam Book,
1998).
Darmiyati Zuchdi, Panduan Penelitian Analisis Kontemporer (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian IKIP, 1993).
Elkind, D. H. & Sweet, F. How to do character education. Artikel diambil pada tanggal
11 April 2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
Harta, I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika
SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011.
Heribertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis
(Surakarta: Pusat penelitian UNS, 1988).
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab al-Wurud)”,
Jurnal Kutub Khazanah no. (02 th. 2, Maret 1999).
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Grand Desain Pendidikan Karakter,
2010.
Lewis, B.A., Character Building untuk Remaja (Terjemahan Arvin Saputra dan
Lyndon Saputra. Buku asli diterbitkan 1987), ( New York: Publishing Group,
2004)
Lickona, T., Eleven principles of effective character education. Journal of Moral
Education (1996).
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).
M. Sa’ad Ibrahim. ”Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, dalam Jurnal At-
Tahrir, Vol. 4 No. 2, Juli 2004.
Suparno, Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum,. (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1992).
Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran
Metode Dalam Studi Living Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan
Hadis, jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Klaijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
Sudarsono, J. Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.).
Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara,. 2008).
Tri Ermayati, Pembinaan Kesadaran Beragama Pada Anak (Kajian tentang Metode
Pendidikan Islam) (Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000)
Tim FkBA, Melejitkan Potensi Diri EI dan QL Emotional Intelligence dan Quantum
Learning (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, FkBA, 2001).











[1] Sudarsono, J. Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,. 2008), hlm.XVI.
[2] Liliek Chana, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Hadis Nabi SAW, (Semarang: Uin Sunan Ampel,) hal 2
[3] Ibid, Liliek Chana hal 2
[4] Elkind, D. H. & Sweet, F. How to do character education. Artikel diambil pada tanggal 11 April
2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
[5] Harta, I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika
SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011. Hlm. 2
[6] Al-Hafid ‘Ali bin Abi Bakr bin Sulaiman al-Haitami, Ghayah al-Muqsid fi Zawaid al-Musnad,
Maktabah Shaid al-Fawa’id.
[7] dr-marzuki-mag-prinsip-dasar-pendidikan-karakter-perspektif-islam-library PDF
[8] Abd. Al-Rahman al-Nahlawi>, Usu>l al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Asa>li>buha> (Beirut:
Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir), Cet. III, hlm, 13\5
[9] Tri Ermayati, Pembinaan Kesadaran Beragama Pada Anak (Kajian tentang Metode Pendidikan
Islam) (Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hlm. 152
[10] Ibid Liliek Chana hal 6
[11] Ibid Liliek Chana hal 6
[12] Ibid Liliek Chana hal 7
[13] Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Grand Desain Pendidikan Karakter, 2010.
[15] Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran Metode
Dalam Studi Living Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan Hadis, jurusan Tafsir Hadis, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Klaijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
[16] M. Sa’ad Ibrahim. ”Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, dalam Jurnal At-Tahrir,
Vol. 4 No. 2, Juli 2004, hal. 168.
[17] Termasuk dalam hal ini adalah menyangkut asbâbul wurûd hadis atau sunnah, lihat makalah
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab al-Wurud)”, Jurnal Kutub
Khazanah no. (02 th. 2, Maret 1999).
[18] Ibid, Liliek Chana hal 12
[19] Ibid, Liliek Chana hal 12
[20] Ibid, Liliek Chana hal 12
[21] Lewis, B.A. (2004). Character Building untuk Remaja (Terjemahan Arvin Saputra dan Lyndon
Saputra. Buku asli diterbitkan 1987), ( New York: Publishing Group, 2004), hlm. 5.
[22] Suparno, Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum,. (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1992), hlm. 87.
[23] Lickona, T.. “Eleven Principles of Effective Character Education”. Journal of Moral Education,
1996, hlm. 87.

[24] Ibid, Liliek Chana Hal 14
[25] Ibid, Liliek Chana Hal 14
[26] Ibid, Liliek Chana Hal 14

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pihak yang terlibat dalam Pengembangan Kurikulum

strategi marketing mix " Cappucino Cincau"

CONTOH JOBS DESCRIPTION KEPANITIAN