SHALAT SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN KARAKTER
A. Latar
Belakang Masalah
Pendidikan karakter menjadi isu menarik dan hangat
dibicarakan kalangan praktisi pendidikan akhir-akhir ini. Hal ini karena dunia
pendidikan selama ini dianggap terpasung oleh kepentingan-kepentingan yang absurd,
hanya mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi
dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Output
pendidikan memang menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi kehilangan sikap
jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang
rasa dan toleransi. Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik,
keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.[1]
Dalam konteks yang demikian, pendidikan selama ini
dianggap telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hedonis,
tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi dan nurani. Tidaklah mengherankan jika
kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat (seperti kasus Akil Muchtar
ketua Mahkamah Konstitusi, kasus Prof. Dr. Rudi Rubiandini cek perjalanan
pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus Gayus, kasus Malinda Dee, Nazaruddin,
Presiden PKS Muhammad Lutfi Hasan, beberapa petinggi partai, dan masih banyak
kasus lainnya), justru melibatkan orang-orang yang secara formal berpendidikan
tidak rendah. Ini
artinya,
pendidikan selama ini, setidaknya telah memiliki andil terhadap maraknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan negara ini tergolong sebagai
salah satu negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia.[2]
Menyadari kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan
reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh
dunia pendidikan, yakni pendidikan yang lebih fokus pada pembentukan karakter
anak. Baik pendidikan yang dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah maupun di
lingkungan masyarakat. Proses pentransferan nilai-nilai karakter perlu didesain
sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan karakter melalui
beragam aktivitas dan metode/cara penyampaiannya.[3]
Pendidikan karakter dapat dimaknai dari berbagai
sudut pandang. Lickona mengartikan pendidikan karakter sebagai upaya penanaman
nilai-nilai perilaku (karakter) kepada
warga sekolah (keluarga) yang mencakup komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai itu, baik terhadap Tuhan,
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun masyarakat[4]. Menurut
Harta,[5]
pendidikan
karakter mempunyai makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan
hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Hal yang lebih
utama, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang
hal-hal yang baik, sehingga anak menjadi paham tentang mana yang baik dan salah
(domain kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (domain afektif) dan mau
melakukannya (domain psikomotor).
Dengan melihat realitas yang ada, maka dalam
pemakalah mencoba memberikan alternatif solusinya kepada hadis-hadis Nabi SAW,
dimana Rasulullah SAW membangun karakter sahabatnya, cara-cara mentransfer
nilai-nilai karakter tersebut kepada para sahabatnya. Mengingat Rasulullah SAW
diutus Allah SWT adalah untuk menyempurnakan akhlak[6] Karakter
identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka
berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun
dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan,
dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan
adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character
education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya
akhlak (karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam
bentuk pembiasaan sikap dan perilaku[7]
Al-Nahlawi mensinyalir bahwa dalam hadis, dapat
ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik
jiwa dan juga membangkitkan semangat.[8]
Hadis-hadis
pilihan juga menjadi salah satu alternatif, selain pelajaran al-Qur'an,
hikayat-hikayat orang shaleh yang disertai contoh perilaku mereka, merupakan
alat pembinaan kesadaran beragama pada anak yang mempunyai pengaruh kuat untuk
meluluhkan jiwa keagamaan pada anak. Kemampuan dasar tersebut merupakan hal
fundamental pada usia anak untuk bisa mempelajari berbagai disiplin ilmu pada
jenjang pendidikan yang akan ditempuh selanjutnya.[9]
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
hadis shalat relevan tentang pendidikan karakter masa sekarang?
2. Bagaimanakah
konsep hadis-hadis Nabi SAW dalam membangun karakter umat?
C. Hadis
Shalat tentang Pendidikan Karakter
Di bawah ini akan dipaparkan redaksi hadis-hadis
yang terkait dengan pendidikan karakter lengkap dengan sanad dan matannya.
Adapun hadis-hadis yang penulis gunakan landasan adalah yang berkaitan dengan
pendidikan karakter, antara lain:[10]
Hadis di atas menceritakan tentang instruksi
Rasulullah SAW kepada umat Islam agar memerintah anaknya untuk melaksanakan
ibadah shalat ketika usia tujuh (7) tahun. Apabila pada usia 10 tahun si anak
tetap tidak mau melaksanakan ibadah shalat, maka orang tua boleh memukul
anaknya tersebut. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang bersifat mendidik,
agar si anak mau melakukan shalat. Pukulan yang dimaksud bukan pukulan untuk
menyakiti, tetapi untuk mendidik anak agar memiliki karakter keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT.[11]
Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam agar
dalam memberikan pendidikan kepada anak itu dilakukan secara bertahap. Pada
usia 7 tahun anak sekedar diperintah untuk shalat, kalau tidak mau, tidak usah
dipukul. Akan tetapi pada usia 10 tahun, ketika diperintah untuk shalat, anak
tidak mau shalat, maka orang tua diperbolehkan untuk memukul anaknya pada
bagian yang tidak membahayakan, misalnya, punggung; agar si anak mau
melaksanakan shalat. [12]
Hadits yang memerintah shalat anak oleh orang tuanya
sejalan dengan nilai-nilai karakter atau perilaku manusia terhadap Tuhan-Allah
SWT. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan meliputi: taat kepada Tuhan,
syukur, ikhlas, sabar, tawakkal (berserah diri kepada Tuhan)[13]
Hadits tentang perintah shalat kepada anak juga
mengandung nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri. Nilai-nilai
perilaku manusia terhadap diri sendiri mengandung karakter reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif, inovatif, mandiri, hidup
sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban,
pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu
berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau
gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien,
menghargai, dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan,
sportif, tabah, terbuka, dan tertib.
Hadits tentang perintah shalat jelas mengandung
–antara lain- tuntunan untuk mencapai kedisiplinan waktu, tanggung jawab
sebagai hamba Allah SWT, berfikir positif, sabar dan tabah dalam menjalankan
perintah Tuhan dan menjauhkan diri dari larangan Tuhan. Dalam menjalankan
ibadah shalat, seseorang juga berarti melaksanakan refleksi diri dengan
berkomunikasi langsung dengan Tuhan melalui ritual ibadah shalat.
D. Konsep
Hadis-hadis Nabi SAW dalam Membangun Karakter
Memahami hadis dapat dilakukan secara tekstual dan
kontekstual. M. Sa’ad Ibrahim menjelaskan bahwa batasan kontekstualisasi
meliputi dua hal, yaitu: 1. Dalam bidang ibadah mahdhah (murni) tidak
ada kontekstualisasi. Jika ada penambahan dan pengurangan untuk penyesuaian
terhadap situasi dan kondisi maka hal tersebut adalah bid`ah. 2.
Dalam bidang di luar ibadah murni, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap
berpegang pada moral ideal nas, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik
baru yang menggantikan legal spesifik yang lama.[14]
Menurut Suryadi, batasan-batasan tekstual (normatif)
meliputi:[15]a.
Ide moral/ide dasar/tujuan di balik teks (tersirat). Ide ini ditentukan dari
makna yang tersirat di balik teks yang sifatnya universal, lintas ruang waktu
dan intersubjektif. b. Bersifat absolut, prinsipil, universal dan fundamental.
c. Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi, Mu’a>syarah bi al-
ma’ru>f. d. Terkait relasi antara manusia dan Tuhan yang bersifat
universal artinya segala sesuatu yang dapat dilakukan siapapun, kapan pun dan
dimana pun tanpa terpengaruh oleh letak geografis, budaya dan historis
tertentu. Misalnya “shalat”, dimensi tekstualnya terletak pada keharusan
seorang hamba untuk melakukannya (berkomunikasi, menyembah atau beribadah)
dalam kondisi apapun selama hayatnya. Namun
memasuki
ranah “bagaimana cara muslim melakukan shalat” sangat tergantung pada konteks
si pelakunya.
Dalam pada itu, langkah-langkah pemahaman
kontekstualisasi dapat dilakukan sebagai berikut:[16]1.
Memahami teks-teks Hadis atau Sunnah untuk menemukan dan mengidentifikasi legal
spesifik dan moral ideal dengan cara melihat konteks lingkungan awalnya, yaitu:
Makkah, Madinah dan sekitarnya.[17]2.
Memahami lingkungan baru dimana teks-teks akan diaplikasikan, sekaligus
membandingkan dengan lingkungan awal untuk menemukan perbedaan dan
persamaannya. 3. Jika ternyata perbedaan-perbedaannya lebih esensial dari
persamaan-persamaannya maka dilakukan penyesuaian pada legal spesifik teks-teks
tersebut dengan konteks lingkungan baru, dengan tetap berpegang pada moral
idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, maka nas-nas tersebut diaplikasikan
dengan tanpa adanya penyesuaian.
Terkait dengan beberapa redaksi dan substansi hadis
yang dipaparkan di atas, dimana hadis-hadis tersebut mengandung karakter
manusia terhadap Tuhan, terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, dan
terhadap lingkungannya, maka beberapa konsep pendidikan karakter yang dapat
diungkap dari hadis Rasulullah SAW adalah sebagai berikut. Pertama, bahwa
penanaman nilai-nilai karakter itu harus dilandasi dengan sebuah pengetahuan.
Maka nilai-nilai karakter harus diperkenalkan terlebih dahulu kepada anak didik
sebelum nilai-nilai tersebut ditanamkan kepadanya. Sebagaimana seorang non
muslim yang kencing di dalam
masjid,
oleh Rasul tidak ditindak dengan tegas, karena orang tersebut memang tidak tahu
bahwa kencing di masjid itu tidak boleh. Jadi diberi pengetahuan terlebih
dahulu, setelah tahu, diharapkan melakukan sebuah kebaikan. Kalau sudah tahu,
tapi melanggar kebaikan, maka baru boleh ditindak.[18]
Kedua, penanaman
nilai-nilai karakter itu harus dilakukan secara bertahap. Misalnya, ketika
Rasulullah memerintah umatnya untuk menanamkan nilai-nilai karakter keimanan
dalam bentuk melakukan shalat, maka beliau melakukannya secara bertahap. Dengan
kata lain, seorang anak, pada usia 7 tahun, agar diperintahkan untuk shalat, dengan
perintah yang lunak, tanpa harus ditindak tegas jika tidak mau shalat. Apabila
pada usia 10 tahun diperintah shalat anak tidak mau shalat, maka orang tua
boleh memukulnya dengan tujuan yang edukatif atau mendidik agar anaknya mau
shalat.[19]
Ketiga, Rasulullah
mmemiliki karakter kepedulian kepada anak, perempuan, dan sesama manusia. Hal
itu dibuktikan dengan perilaku beliau, ketika sedang shalat, lalu mendengar
anak kecil perempuan yang sedang menangis, yakni cucu beliau bernama Amamah
binti Zainab, beliau kemudian mengambil anak tersebut dan menggendongnya, lalu
melanjutkan shalatnya. Jadi dalam shalat, ketika posisi berdiri menggendong
anak, ketika sujud anak yang digendong ditaruh.Perilaku Rasul ini jelas
menunjukkan sikap atau karakter kepedulian kepada anak, perempuan, dan sesama
serta lingkungan.[20]
Perilaku yang dicontohkan Rasulullah SAW tersebut di
atas jelas masuk kategori perilaku atau karakter atau moral/akhlak yang mulia
dan menunjukkan budi bekerti yang luhur. Akhlak/karakter yang mulia atau baik
memang seharusnya dikembangkan oleh umat Islam. Akhlak/karakter mulia atau baik
perlu dimiliki setiap manusia, karena akhlak/karakter mulia itu, baik bagi diri
sendiri, keluarga dan bangsa. Lewis menyatakan bahwa akhlak/karakter seperti
mengasihi, peduli, menghormati kehidupan, jujur, bertangung jawab, dan adil
merupakan akhlak/ karakter positif. Mengembangkan karakter positif seseorang
berhubungan dengan nurani, keyakinan-keyakinan moral, pengalaman pribadi, pola
asuh, hak-hak dan tanggung jawab, kebudayaan, hukum serta
ekspektasi-ekspektasinya yang
berhubungan
dengan diri sendiri, sesama dan dengan dunia.[21]
Seseorang yang berperilaku kejam, rakus, suka
berfoya-foya dikatakan berakhlak/berkarakter jelek atau berkarakter negatif,
sementara berperilaku suka menolong, berhemat, dan sederhana dikatakan sebagai
orang yang berakhlak/ berkarakter mulia. Jadi, istilah karakter erat kaitannya
dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa
disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Kaidah moral itu memiliki kaitan erat dengan nilai moral yang diyakini benar
oleh sekelompok masyarakat. Nilai moral bisa dianggap sebagai perilaku, ketika
berwujud tindakan yang
mencerminkan
sikap seseorang.[22]
Lickona[23]
menambahkan
bahwa memiliki pengetahuan nilai moral tidak cukup untuk menjadi manusia
berkarakter. Namun, nilai moral itu harus disertai dengan karakter bermoral,
dengan maksud agar manusia mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan
nilai-nilai kebajikan. Termasuk karakter bermoral adalah pengetahuan tentang
moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling),
dan perbuatan bermoral (moral action).
Konsep pendidikan karakter yang dilakukan Rasulullah
kepada para sahabat dan umatnya melalui hadits-haditsnya –dengan demikian-
sejalan dengan teori-teori pendidikan karakter yang dikemukakan para ilmuwan
masa sekarang. Rasulullah SAW sebagai mu’allim mendidik ummatnya dengan
kepribadian yang luhur dan ajaran yang beliau ajarkan terhindar dari kesia-siaan.
Materi yang beliau ajarkan senantiasa selaras dengan akhlaq yang beliau
tampilkan. Hal ini dapat menerangkan kepada para peserta didiknya bahwa ilmu
yang telah diajarkan tidak akan sia-sia, jika disertai dengan pengamalan dalam
kehidupan sehari-hari yang akan membawanya pada keberhasilan ummat[24].
Rasulullah diutus dengan tujuan yang sangat mulia
yakni menyempurnakan akhlak (innama bu’itstu liutammima makaarimal akhlaq).
Sebagai mu’allim, beliau tidak pernah menuntut kepada ummatnya untuk
memahami ajarannya dengan cepat. Beliau akan selalu mengajarkan kepada siapapun
yang mau berusaha belajar tentang Islam, beliau senantiasa sabar lagi rendah
hati terhadap ummatnya yang memiliki daya penalaran lemah sekalipun. Rasulullah
telah mengajarkan pada umat dengan menjadi sosok atau figur yang sangat
memahami keadaan psikologi para peserta didiknya[25].
Beberapa metode pendidikan yang diterapkan
Rasulullah Muhammad SAW sejalan dengan metode pendidikan karakter pada umumnya,
yakni: metode pembiasaan, metode keteladanan, metode nasihat, metode penanaman
rasa ingin tahu, metode menampilkan prilaku yang luhur, dan beberapa metode
lain yang sejenis[26].
E. Kesimpulan
1. Hadis
shalat mengandung karakter atau perilaku manusia terhadap Tuhan yang akan
mempengaruhi diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungannya. Beberapa konsep
pendidikan karakter yang dapat diungkap dari hadis Rasulullah SAW tersebut
adalah: Pertama, bahwa penanaman nilai-nilai karakter itu harus
dilandasi dengan sebuah pengetahuan. Nilai-nilai karakter harus diperkenalkan
terlebih dahulu kepada peserta didik sebelum nilai-nilai tersebut ditanamkan
kepadanya. Kedua, penanaman nilai-nilai karakter itu harus dilakukan
secara bertahap. Sebagai pendidik, Rasulullah SAW tidak pernah menuntut
kepada ummatnya untuk memahami ajarannya dengan cepat. Ketiga,
Rasulullah memiliki karakter kepedulian kepada anak, perempuan, dan sesama
manusia.
2. Konsep
pendidikan karakter yang dilakukan Rasulullah kepada para sahabat dan umatnya
melalui hadits-haditsnya sejalan dengan teori-teori pendidikan karakter yang
dikemukakan para ilmuwan masa sekarang. Sebagai pendidik Rasulullah SAW
mendidik ummatnya dengan kepribadian yang luhur. Materi yang beliau ajarkan
senantiasa selaras dengan akhlaq yang beliau tampilkan. Beberapa metode
pendidikan yang diterapkan Rasulullah Muhammad SAW sejalan dengan metode
pendidikan karakter pada umumnya, yakni: metode pembiasaan, keteladanan,
nasihat, penanaman rasa ingin tahu, menampilkan prilaku yang luhur, dan
sejenisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al-Rahman
al-Nahlawi>, Usu>l al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa Asa>li>buha>
(Beirut: Da>r al-Fikr
al-Mu’a>sir), Cet. III.
Al-Hafid ‘Ali bin Abi Bakr
bin Sulaiman al-Haitami, Ghayah al-Muqsid fi Zawaid al-
Musnad, Maktabah Shaid al-Fawa’id.
Daniel Goleman, Working
With Emotional Intelligence (New York: Bantam Book,
1998).
Darmiyati Zuchdi, Panduan
Penelitian Analisis Kontemporer (Yogyakarta: Lembaga
Penelitian IKIP, 1993).
Elkind, D. H. & Sweet,
F. How to do character education. Artikel diambil pada tanggal
11 April 2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
Harta, I. (2010). Pengintegrasian
pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika
SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011.
Heribertus Sutopo, Pengantar
Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar Teoritis Dan Praktis
(Surakarta: Pusat penelitian
UNS, 1988).
Ilyas, “Pemahaman Hadis
Secara Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab al-Wurud)”,
Jurnal Kutub Khazanah no. (02 th. 2, Maret 1999).
Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemendiknas). Grand Desain Pendidikan Karakter,
2010.
Lewis, B.A., Character
Building untuk Remaja (Terjemahan Arvin Saputra dan
Lyndon Saputra. Buku asli
diterbitkan 1987), ( New York: Publishing Group,
2004)
Lickona, T., Eleven
principles of effective character education. Journal of Moral
Education (1996).
Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001).
M. Sa’ad Ibrahim.
”Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, dalam Jurnal At-
Tahrir, Vol. 4 No. 2, Juli 2004.
Suparno, Pendidikan Budi
Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum,. (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1992).
Suryadi, “Dari Living Sunnah
ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran
Metode Dalam Studi Living
Sunnah”, dalam Seminar Living Al-quran dan
Hadis, jurusan Tafsir Hadis,
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Klaijaga, tanggal 8-9
Agustus 2005.
Sudarsono, J. Pendidikan,
kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.).
Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara,.
2008).
Tri Ermayati, Pembinaan
Kesadaran Beragama Pada Anak (Kajian tentang Metode
Pendidikan Islam)
(Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000)
Tim FkBA, Melejitkan
Potensi Diri EI dan QL Emotional Intelligence dan Quantum
Learning (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, FkBA, 2001).
[1]
Sudarsono,
J. Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.). Landasan
dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,.
2008), hlm.XVI.
[2] Liliek Chana,
Pendidikan Karakter dalam Perspektif Hadis Nabi SAW, (Semarang: Uin Sunan
Ampel,) hal 2
[3] Ibid, Liliek
Chana hal 2
[4]
Elkind,
D. H. & Sweet, F. How to do character education. Artikel diambil
pada tanggal 11 April
2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html.
[5]
Harta,
I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika
SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011. Hlm. 2
[6]
Al-Hafid
‘Ali bin Abi Bakr bin Sulaiman al-Haitami, Ghayah al-Muqsid fi Zawaid
al-Musnad,
Maktabah
Shaid al-Fawa’id.
[7] dr-marzuki-mag-prinsip-dasar-pendidikan-karakter-perspektif-islam-library
PDF
[8]
Abd.
Al-Rahman al-Nahlawi>, Usu>l al-Tarbiyah al-Isla>miyyah wa
Asa>li>buha> (Beirut:
Da>r al-Fikr al-Mu’a>sir),
Cet. III, hlm, 13\5
[9]
Tri
Ermayati, Pembinaan Kesadaran Beragama Pada Anak (Kajian tentang Metode
Pendidikan
Islam)
(Yogyakarta: Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 2000), hlm. 152
[10] Ibid Liliek
Chana hal 6
[11] Ibid Liliek
Chana hal 6
[12] Ibid Liliek
Chana hal 7
[13] Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas). Grand Desain Pendidikan Karakter, 2010.
[15]
Suryadi,
“Dari Living Sunnah ke Living Hadis”, dari makalah Nurun Najwa. ”Tawaran Metode
Dalam Studi Living Sunnah”, dalam
Seminar Living Al-quran dan Hadis, jurusan Tafsir Hadis, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Sunan Klaijaga, tanggal 8-9 Agustus 2005.
[16]
M. Sa’ad
Ibrahim. ”Orisinalitas dan Perubahan Dalam Ajaran Islam”, dalam Jurnal
At-Tahrir,
Vol. 4 No. 2, Juli 2004, hal.
168.
[17]
Termasuk dalam
hal ini adalah menyangkut asbâbul wurûd hadis atau sunnah, lihat makalah
Ilyas, “Pemahaman Hadis Secara
Kontekstual (Telaah Terhadap Asbab al-Wurud)”, Jurnal Kutub
Khazanah no. (02 th. 2,
Maret 1999).
[18] Ibid,
Liliek Chana hal 12
[19] Ibid, Liliek
Chana hal 12
[20] Ibid, Liliek
Chana hal 12
[21]
Lewis, B.A. (2004). Character Building untuk Remaja (Terjemahan Arvin
Saputra dan Lyndon
Saputra. Buku
asli diterbitkan 1987), ( New York: Publishing Group, 2004), hlm. 5.
[22]
Suparno, Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah: Suatu Tinjauan Umum,. (Yogyakarta:
Penerbit
Kanisius,
1992), hlm. 87.
[23]
Lickona, T.. “Eleven Principles of Effective Character Education”. Journal
of Moral Education,
1996, hlm. 87.
[24] Ibid,
Liliek Chana Hal 14
[25] Ibid, Liliek
Chana Hal 14
[26] Ibid,
Liliek Chana Hal 14
Komentar
Posting Komentar