PSIKOLOGI VS AGAMA
RESUME
ILMU DAN AGAMA
KAJIAN PEMIKIRAN HOLMES ROLSTON
TENTANG AGAMA DAN PSIKOLOGI
Sumber: www.Sanaky.com
HOLMES
ROLSTON menyatakan bahwa hidup yang berorientasi pada makna merupakan suatu
bentuk agama.
Kajian pemikiran holmes rolston
tentang agama dan psikologi dibagi menjadi 3:
1.
Agama
dan psychoanalysis Freudian
Menurut
Sigmund Freud (bapak psikoanalisis) yang menganut agama yahudi ini pernah
menyatakan ketidak percayaannya kepada agama. Alasanya adalah sebagai berikut.
·
Menurut Freud, agama adalah ilusi,
delusi, pengekspresian masa kanak-kanak terhadap ketakutan bahaya kehidupan.
·
Agama adalah obsesif neurotis/
abnormalitas tingkah laku
·
Menurut psikoanalisis yang Freud anut
memberikan stigma bahwa agama adalah patologi(penyakit)
Rolston
mengkritik psikologi psikoanalisis freud dengan argument sebagai berikut.
v Freud
hanya melihat agama dari sudut pandang orang abnormal dan kajiannya tidak
sesuai dengan realita kehidupan.
v Freud
menemukan asal-usul keagamaan hanya secara psikis bukan keyakinan.
v Menurut
Rolston, analisis yang dilakukan Freud bukan analisis non teologis melainkan
psikoanalisis analisis anti teologis
v Pikiran
ilusi dan delusi yang tergolong pikiran tidak sadar sulit disepakati sebab
tidak memiliki bahan empiris/ penilaian introspeksi untuk mengujinya.
v Ide
Freud terlalu mengada-ada dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
v Harus ditemukan
dahulu apakah ada dan di dalam bentuk apa suatu ide bisa dituntut bisa
menjelaskan pengalaman secara logis
2.
Agama
dan psikologi behavioral
John B. Watson
mengusulkan konsep human science tanpa ada unsur pikiran di dalamnya, psikologi
merupakan ilmu perilaku. Watson menyatakan bahwa kita tidak
mungkin meneliti pengalaman “spiritual” karena hal itu tidak dapat
dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan
keabsahannya. Bagi Watson, pengalaman “spiritual” tidak akan pernah menjadi
data sains karena sains modern dibangun di atas dasar empirisme, sesuatu yang
bisa diamati dan diuji. Berdasarkan asumsi ini, Psikologi yang awalnya
mempelajari tentang jiwa beralih meneliti tentang tingkah laku manusia
Kritik
Rolston adalah sebagai berikut.
v Psikologi behaviorisme terlalu
memisahkan diri dari konsep kesadaran.
v Rolston,
mengatakan kajian Watson tidak lagi menggunakan istilah kesadaran, mental,
pikiran, muatan, verifiable introspektif, imaji dan sebagainya. Kajian ini
dapat dilaksanakan dengan istilah “stimulus” [S] dan “respon” [R], dengan
istilah pembentukan kebiasaan, integrasi kebiasaan dan sebagainya. Menurut
Rolston, pembicaraan tentang ”stimulus” dan ”respons” paling diminatai dalam
pembahasan Psikologi dan secara praktis justru mengabaikan teori ”kesadaran”
v Rolston,
mengatakan bahwa di antara sekian prilaku manusia, yang paling kompleks adalah
”pembelajaran dalam bidang ilmu dan Agama”. Tetapi menurutnya, setelah mengusir
“fiksi kuno mengenai realitas mental”, kalangan behavioris justru kehilangan
otoritas dalam menilai teori-teori mereka sendiri, mereka justru dikritik tidak
cukup memadahi bila bersaing dengan agama.
3.
Agama
dan psikologi humanis
Aliran
ini secara eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia
dari psikologi dan konteks manusia dalam pengembangan teori psikologis.
Kritik
Rolston adalah sebagai berikut.
v Rolston
mengatakan bahwa manusia itu hanya pencitraan Tuhan bukan tuhan yang
pencintraan manusia.
RESUME
TENTANG AGAMA DAN PSIKOLOGI
Sumber: Robert W. Crapps, Dialog
Agama dengan Psikologi, Dari William James sampai G.W. Allport, terj. A.M. Hardjana,
Yogyakarta: Kanisius, 1995
Sekitar pergantian abad ke-19 dan ke-20, terbit dua buku
yang berusaha menjembatani jurang antara psikologi dan agama. Dua buku itu
adalah karya Edwin D. Starbuck, The Psychology of Religion (1899) dan
William James, The Varieties of Religious Experience (1902). Sejak
terbitnya buku itu istilah psikologi agama menjadi populer. Meskipun demikian,
sampai tahun 1930, hanya sedikit saja kemajuan yang diperoleh psikologi agama.
Penyebab utamanya ada dua hal; pertama, pada waktu itu, psikologi ilmiah
cenderung semakin positivistik dan behavioristik, serta kurang menyediakan
kemungkinan untuk menilai agama di luar metode empiris ketat. Kedua,
pihak agama sendiri menilai bahwa psikologi agama sebagai alat untuk
membersihkan iman umat beragama. Dari dua alasan itu, sebenarnya dapat dilihat
bahwa hubungan antara psikologi dengan agama masih menyisakan masalah.
Psikologi agama
secara umum tetap berusaha
memusatkan perhatiannya pada peranan agama bagi pengembangan pribadi manusia. Sedangkan
psikologi agama sebagai cabang ilmu memusatkan perhatiannya pada tiga bidang:
(1) bentuk-bentuk institusional yang diambil oleh agama (2) arti personal yang
diberikan orang pada bentuk-bentuk itu (3) hubungan antara faktor keagamaan
dengan seluruh struktur kepribadian manusia.
Bentuk institusionalisasi agama setidaknya terdapat tiga
tipe. Tipe pertama tampak dalam bentuk-bentuk klasik.
Bentuk-bentuk itu mencakup lembaga-lembaga utama yang sudah terbentuk selama
bertahun-tahun, malah berabad-abad, serta telah menjadi perwujudan nilai dan
arti keagamaan yang dijunjung tinggi. Tipe ini tidak hanya mencakup agama-agama
kuno yang sudah mati (Mesopotamia, Mesir, Yunani dan Romawi), tetapi juga
agama-agama yang masih survive sampai sekarang. Gambaran umum agama itu
lambat laun menjadi kabur akibat banyaknya perbedaan-perbedaan penafsiran
terhadap ajarannya sehingga memunculkan sekte-sekte, yang masing-masing juga
memiliki sejarah dan tradisi yang juga mantap. Dalam Islam, misalnya, terdapat
Islam Sunni, Islam Syi’ah, Wahabi dan semacamnya. Tipe kedua berkenaan
dengan ungkapan atau perwujudan yang memiliki organisasi intern tersendiri.
Tipe ini mencakup berbagai kelompok yang ajarannya sangat berbeda-beda. Dalam
Islam, misalnya, terdapat Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Qadariyah dan
seterusnya. Tipe ketiga lebih tidak jelas karena tergantung pada
struktur sosial yang sifatnya non-keagamaan sebagai perwujudannya. Nilai dan
arti yang ada/terkandung di dalamnya berhubungan erat dengan agama, tetapi
berperan terpisah daripadanya. Hubungan erat antara vivalitas agama itu
menjelma menjadi apa yang disebut sebagai civil religion (agama
kemasyarakatan). Agama kemasyarakatan ini dipengaruhi oleh semangat
nasionalisme, dan dapat hidup berdampingan dengan agama-agama yang ada, tetapi
dengan cukup jelas dapat dibedakan daripadanya.
Ulasan tipe-tipe rancangan Crapps di atas tidak akan dibahas
panjang lebar dalam kesempatan kali ini, dan yang akan dibahas dalam sekarang
ini hanya berkisar pada hubungan antara faktor keagamaan dengan struktur
kepribadian manusia, yang berpusat pada psikhe atau jiwa, secara sadar
maupun tak sadar
Komentar
Posting Komentar