Agresivitas Anak
Sumber data: http://psikologi-unissula.com/article/88565/agresivitas-anak--suatu-studi-kasus.html
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan bentuk-bentuk perilaku agresif anak di
sekolah dan di rumah, serta untuk mengetahui penyebab perilaku agresif
anak. Metode penelitian ini adalah studi kasus. Subjek penelitian adalah
seorang anak laki-laki berusia enam tahun (A) yang berperilaku agresif.
Data dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara. Pengamatan dilaukan
di dalam maupun di luar ruang kelas. Wawancara dilakukan pada para guru,
orang tua, serta pengasuh anak. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
bentuk-bentuk perilaku subjek meliputi agresi verbal (mengumpat,
mengejek, menjulurkan lidah) serta agresi non-verbal (memukul,
menendang, dan mendorong). Faktor-faktor yang menjadi penyebab perilaku
agresif pada subjek adalah pembelajaran, penguatan, serta pengalaman
langsung.
Kata kunci: agresi, anak
CHILD AGGRESSIVENESS
(A CASE STUDY)
Abstra ct
The
study aimed to determine the forms of aggressive behavior on a child at
school and home. In addition to know the cause of aggressive behavior
on a child. The method of this study is case study. Subject of research
was a six-year-old boy (A) showing aggressive behavior. Data were
collected by observation and interview. Observation conducted inside and
outside the classroom. Interview conducted on teachers, parents and
caregiver. Result of the study showed that behavior forms of the subject
included verbal aggression (yelling, mocking and sticking out tongue)
and non verbal aggression (hitting, kicking and pushing). Causal factors
of aggressive behavior on the subject due to learning, reinforcement
and direct experience.
Keyword: Aggression, child
Pendahuluan
Agresi
adalah perilaku fisik atau verbal untuk menyakiti orang lain (Myers,
2002); perilaku menyakiti yang meliputi fisik maupun verbal yang
merupakan tindakan antisosial (Eron dalam Cavell, 2000).
Agresi menurut Moore & Fine (dalam, Koeswara 1988) adalah tingkah
laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain
atau terhadap objek. Agresi secara fisik meliputi kekerasan yang
dilakukan secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan lain
sebagainya. Selain itu agresi secara verbal adalah penggunaan kata-kata
kasar seperti bego, tolol. Selain bentuk agresi tersebut, ada faktor
yang mempengaruhinya dalam perbuatan agresi diantaranya faktor belajar,
faktor imitasi, faktor penguatan.
Agresi
seringkali digunakan oleh manusia sebagai jalan untuk mengungkapkan
perasaan dan menyelesaikan persoalan. Agresi terjadi dimana saja seperti
perkelahian antar pelajar, antar kampung bahkan antar negara. Agresi
juga terjadi pada anak. Saat bermain anak saling bertengkar dengan
mengejek, memukul atau melempar. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat
dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau
tidak langsung yang dilakukan ayah terhadap ibu dan anaknya sebagaimana
penelitian Hartini (2009) bahwa anak mengadopsi perilaku agresinya dari
hasil belajar melalui pengamatan anak kepada orang tua serta anak dapat
meniru semua tingkah laku orang tua yang didapatnya dari kekerasan
tersebut.
Agresi
pada anak juga dapat terjadi akibat pengaruh media massa yang berisi
kekerasan (tayangan film). Hasil penelitian Santhoso (1994) di Kotamadya
Yogyakarta menunjukkan ada korelasi antara minat terhadap film
kekerasan dengan kecenderungan perilaku agresi. Demikian juga menurut Santrock ( 2002 ) dan Kirsh (2006) bahwa bahwa tayangan kekerasan di televisi yang terus menerus ditonton oleh anak-anak menyebabkan meningkatnya agresi pada anak-anak .
Pada
usia sekolah, perkembangan kognitif anak menyebabkan ia mampu melakukan
fantasi. Isi fantasi banyak dipengaruhi oleh tontonan yang disaksikan
oleh anak. Melalui tontonan tersebut, anak-anak mengetahui tokoh jahat
dan tokoh baik sehingga timbul keinginan untuk berperilaku seperti
tokoh-tokoh yang mereka kagumi. Penelitian Khumas, dkk (1997) menemukan
bahwa ada hubungan antara fantasi agresi dan perilaku agresi pada
anak-anak.
Banyaknya
faktor yang menyebabkan agresi pada anak, membuat peneliti melakukan
penelitin ini untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku agresi pada anak
selama berada di sekolah dan di rumah. Selain itu juga untuk mengetahui
penyebab perilaku agresi pada anak.
Metode
Partisipan penelitian ini adalah A, anak laki-laki berusia 6 tahun. Kedua orang tua A bekerja. Hasil tes CPM menunjukkan ke cerdasan A berada pada persentil 95, masuk dalam kategori Intelectually Superior (Grade I). Hasil tes Binet diperoleh IQ : 124, dengan usia mental (MA): 7 tahun 6 bulan. Hasil
CAT menunjukkan bahwa pada diri subjek terdapat dorongan untuk
melakukan kekerasan atau agresi (muncul pada kartu 2, 5, 6, 7, dan 9).
Adanya persaingan atau sibling (muncul pada kartu 2 dan 7). Ada ketakutan untuk ditinggalkan, takut bila tidak dicintai dan disayangi. Ada keinginan untuk diperhatikan dan mendapatkan kasih sayang.
Data
penelitian diperoleh melalui observasi dan wawancara semi terstruktur.
Observasi dilakukan dalam setting kelas dan di luar kelas. Hal-hal yang
diobservasi meliputi perilaku subjek selama proses belajar dan pola
interaksi subjek dengan orang lain. Wawancara dilakukan terhadap signifikan person (orang tua, pembantu, guru kelas dan guru bidang studi (agama, seni & komputer).
Hasil
Berdasarkan observasi di kelas, s ecara fisik A memiliki postur tubuh yang paling besar di bandingkan teman sekelasnya .
Meskipun tubuhnya besar, A aktif bergerak dan beraktifitas. Saat
aktivitas di luar kelas A suka mendorong atau menabrak teman ketika
sedang bermain atau ingin mendahului melakukan sesuatu. Di
kelas saat mengikuti pelajaran, A banyak bergerak; saat teman lain
duduk diam, A duduk selonjor, menggerak-gerakkan kakinya,
menggoyang-goyang papan tulis dengan kakinya. Saat
bekerja A mengeluarkan suara-suara senandung yang tidak beraturan,
menggerak-gerakkan kaki, sesekali melihat pekerjaan temannya . Selama pelajaran berlangsung A mengejek temannya dengan menjulurkan lidah, memukul teman hingga harus di pisahkan
oleh guru. Ketika teman balas memukul, A membalas kembali pukulan
temannya. Dalam berinteraksi dengan teman, A suka mengucapkan kata-kata
yang ditiru dari TV seperti “sungguh terlalu”, “preet”, “siapa takut”.
A memiliki ritme yang cepat dalam bekerja dan selalu ingin menjadi nomer satu. Bila A mendapatkan soal yang mudah untuk dikerjakan , ia
sangat bersemangat, tetapi bila mendapatkan persoalan yang sulit, A
menjadi malas-malasan mengerjakan dan menjawab dengan sembarangan.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa A mulai masuk sekolah sejak usia 17 bulan. Di Taman bermain 1
tahun, TK A 1 tahun dan sekarang di TK B. Hingga saat ini sudah 5 tahun
A sekolah. A juga mengikuti beberapa les seperti membaca dan menulis,
melukis, Bahasa Inggris, dan jarimatika. Di rumah A tidak mau belajar
dan selalu mengatakan sudah bisa dengan pelajaran yang ditanyakan. S ecara
akademik A memiliki prestasi akademik yang cukup baik, A sudah bisa
membaca dan menulis, mengenal angka dan menyukai bidang seni. Motivasi
belajarnya juga tinggi, A selalu menyelesaikan tugas yang diberikan di
kelas bahkan meminta lebih tugas yang ada. Keinginannya untuk segera
menyelesaikan tugas membuat kualitas pekerjaan A menjadi kurang rapi.
Secara perilaku, A menunjukkan kecenderungan agresif, suka memukul teman, mengejek, me nabrak
teman, suka merebut sesuatu yang diinginkannya dari orang lain, dan
sering tidak memperhatikan pelajaran di kelas. Bila A menunjukkan
perilaku tersebut, maka tindakan yang dilakukan guru berbeda-beda. Ada
yang memberi reward , time out , mengingatkan untuk
tidak berbuat ’nakal’, mendampingi A, atau membalas perbuatan A untuk
membuat A jera. A tidak menunjukkan rasa bersalah bila telah menyakiti teman. A sering mengulangi perbuatannya meski sudah meminta maaf.
Di rumah, A dekat dengan pengasuh, kedua orang tua A bekerja hingga sore bahkan malam hari. Segala kebutuhan A dilayani oleh pengasuh. A
sering bertengkar dengan adik, penyebab pertengkaran bermacam-macam,
antara lain berebut mainan atau sesuatu yang lain. Bila bertengkar
dengan adik, A akan saling memukul dan mengejek. A tidak suka dengan
adik karena adik jahat menurut A. Tindakan yang dilakukan orang tua saat
A bertengkar dengan adik biasanya dibiarkan, diomeli atau dimarahi.
Sebelum kelahiran adik, A sudah dibiasakan tidur sendiri, tetapi sejak
adik lahir, A minta tidur bersama orang tua. A sering bertengkar dengan
adik, dilakukan hampir setiap hari . Sejak adik lahir hingga sekarang, ibu harus membelikan mainan yang sama antara adik dan A , jika tidak A
akan marah dan mengamuk. Bila bertengkar dengan adik, A sering “kalah”
dan menangis. Tindakan orang tua bila A bertengkar dengan adiknya maka
Ibu akan memarahi, ”ngomel” atau membiarkan hingga reda sendiri, tetapi
bila ayahnya yang memarahi, anak-anak akan segera diam, meski nanti
bertengkar lagi. Ibu menilai bahwa adik lebih ”pandai” dari kakaknya,
apa yang dilakukan oleh A dapat dikembangkan oleh adik nya .
Pembahasan
Hasil analisis menunjukkan bahwa ada kecenderungan agresi pada dir i A. Ag resi
ini dilakukan A di sekolah seperti memukul teman, menendang, mengejek,
merebut sesuatu dari teman atau guru, mendorong atau menabrak teman.
Demikian juga di rumah, A sering bertengkar dengan adik, memukul adik
atau melawan orang tua. Perilaku agresi A tersebut sudah sejak lama
muncul, baik di sekolah maupun di rumah.
Menurut Cavell (2000) faktor yang menyebabkan perilaku agresi terdiri dari faktor biologi, faktor keluarga, sosial-kognitif, peer atau kelompok,
akademik, guru-sekolah, dan komunitas. Faktor biologi berhubungan
dengan faktor genetik (misalnya temperamen), masa perinatal dan
mekanisme biologi. Faktor keluarga misalnya pola asuh dan family disruptions . Faktor peer
misalnya karena adanya tekanan atau penolakan dari kelompok. Faktor
sosial kognitif berhubungan dengan kurang memadainya kemampuan seseorang
dalam memproses informasi sosial secara tepat.
Pendapat
yang dikemukakan oleh Sears dkk (1994) ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku agresi, diantaranya : 1) Proses belajar merupakan
mekanisme utama yang menentukan perilaku agresi manusia. Menurut teori
belajar, perilaku agresif didapatkan melalui proses belajar. Belajar
melalui pengalaman, coba-coba (trial and error) , pengajaran
moral, instruksi, dan pengalaman terhadap orang lain ; 2) Penguatan,
dalam proses belajar atau pembentukkan suatu tingkah laku, penguatan
atau peneguhan memainkan peranan penting bila perilaku tertentu diberi
ganjaran, kemungkinan besar individu akan mengulangi perilaku tersebut
dimasa mendatang; bila perilaku tersebut diberi hukuman, kecil
kemungkinan bahwa ia akan mengulanginya ; 3) Imitasi, semua orang, dan
anak khususnya, mempunyai kecenderungan kuat untuk meniru orang lain.
Anak tidak melakukan imitasi secara sembarangan, tetapi anak lebih
sering meniru tertentu daripada orang lain. Semakin penting, kuasa,
berhasil seseorang, dan paling sering ditemui, semakin besar kemungkinan
anak dan perilaku orang tualah yang memenuhi kriteria tersebut,
sehingga merupakan model utama bagi seorang anak.
Munculnya
perilaku agresi pada A dapat dijelaskan dari pendekatan perilaku,
khususnya teori belajar sosial dari Bandura. Menurut Bandura (dalam
Anantasari, 2006) perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku
yang dipelajari; demikian halnya dengan perilaku agresi. Perilaku agresi
merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu, apakah
melalui pengamatan langsung, pengalaman langsung yang mendapat pengukuh
positif maupun negatif.
Pengamatan
langsung; di rumah A punya kebiasaan menonton TV yang menayangkan
film-film yang mengandung unsur kekerasan, seperti kartun naruto,
superman, entong d an s e b againya .
Kesenangan A menonton film tersebut menjadikan A meniru perilaku agresi
yang dilakukan oleh tokoh film yang ditonton. Hal ini terjadi karena
anak memiliki kecenderungan besar untuk meniru, terlebih lagi ketika
anak melihat bahwa perilaku agresif itu berdampak menyenangkan, misalnya
mendapat pujian dari orang tua. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa tayangan kekerasan di televisi yang terus menerus ditonton oleh
anak-anak menyebabkan meningkatnya agresi pada anak-anak (Santrock, 2002 ; Kirsh, 2006 ) .
Pengalaman
langsung; di rumah A sering bertengkar (memukul, menendang, mengejek)
dengan adik. Saat bertengkar dengan adik, adik lebih sering ‘menang’
daripada A. Kejadian ini merupakan pengalaman lan g sung
yang menyebabkan A belajar dari adik bagaimana harus mempertahankan
diri, dan membuat diri “menang”. Kurangnya kontrol dari orang tua
menjadi pengukuh perilaku agresi anak. Kemarahan orang tua yang sifatnya
hanya lisan tidak menimbulkan ”efek” jera pada anak dan tidak membuat
anak takut sehingga perilaku agresi terus berulang. Anak akan merasa
orang tua tidak keberatan dan tidak marah atas tindakan anak.
Pengukuhan positif/negatif. Penguatan (reinforcement)
dalam proses belajar memberikan pengaruh pada pembentukan perilaku
agresi yang terjadi pada A. Di sekolah A sering memukul teman dan selalu
di balas oleh teman. Balasan yang dilakukan oleh teman dapat dinilai
sebagai pengukuh negatif yang membuat A menjadi semakin agresif
membalas. Faktor
lingkungan, dalam hal ini adalah peer, memberi kontribusi dalam
membentuk perilaku agresi pada A, sebagaimana menurut (Garandeau &
Cillessen, 2005) bahwa groups with low quality of friendships may be more likely than others to become instruments of aggression as victimization . Di rumah; saat bertengkar dengan adik dan didiamkan oleh orang tua juga menjadi pengukuh positif bagi anak.
Hal ini dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut:
Gambar 1. Bagan pengukuhan positif/negatif
Salah
satu faktor penyebab terjadinya perilaku agresi adalah kontrol diri
yang rendah (Wenar & Kerig, 2000). Menurut Hurlock (1978), kontrol
diri seseorang berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi
serta dorongan-dorongan yang ada di dalam dirinya. Faktor keluarga
berperan penting dalam perkembangan emosi dan kontrol diri anak.
Gaya
pengasuhan yang diterima A di rumah menyebabkan secara emosi subyek
memiliki kontrol diri yang rendah dan perilaku mengganggu yang tinggi.
Sebagaimana dikatakan Baumrind (Wenar & Kerig, 2000) bahwa orang tua
permisif yang sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi
menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap anak, dapat menyebabkan
anak menjadi tergantung, tidak bertanggung jawab, agresif dan merusak.
Demikian juga halnya ke-tidakkonsisten-an pola asuh (parenting inconsistency
) seperti kurangnya pengawasan atau terlalu menerapkan aturan yang
keras pada anak menyebabkan perilaku agresi yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi perilaku antisosial.
Perilaku
A di sekolah yang cenderung agresif, mengganggu teman, usil, merupakan
bentuk dari pengendalian diri yang kurang dimiliki oleh A. Di rumah, A
selalu dipenuhi kebutuhannya oleh pembantu dan orang tua, serta kontrol
yang kurang dari orang tua, dimana anak dibebaskan melakukan yang
diinginkan (nonton TV, main game) serta orang tua yang tidak pernah
marah. Kondisi ini terbawa hingga ke sekolah, dimana di sekolah A
menjadi sesukanya sendiri, mengganggu teman, dan tidak memperhatikan
pelajaran.
Perilaku
agresif yang ditampakkan A di rumah yang ditujukan terhadap adik,
dimana A sering mengejek, memukul dan bertengkar dengan adik, menurut
Cavell (2000) dan Linares (2006) merupakan hal yang sering terjadi yang disebut dengan sibling aggression atau agresi yang ditujukan pada saudara laki-laki maupun perempuan.
Menurut
orang tua A, sebelum kelahiran adiknya, sejak kecil A sudah dibiasakan
tidur sendiri. Tetapi setelah kelahiran adik, A tidak mau lagi tidur
sendiri dan minta untuk tidur bersama-sama dengan ibu dan ayahnya. Apa
yang dimiliki oleh adik, A akan meminta hal yang sama. Sehingga orang
tua akan membelikan sesuatu misalnya mainan sebanyak dua buah untuk adik
dan A. Bila tidak, maka A akan marah dan menangis. Apa yang terjadi
pada A tersebut dapat disebabkan karena adanya perasaan tersaingi akan
kehadiran adik. Sebagai anak pertama, kehadiran adik bagi A memunculkan
berbagai macam kecemburuan atau persaingan.
Kecemburuan atau persaingan yang terjadi diantara saudara kandung disebut dengan istilah sibling rivalry. Sibling rivalry
terjadi apabila anak merasa bahwa dirinya telah kehilangan kasih sayang
dan merasa saudara kandung adalah saingan bagi dirinya dalam
mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua. Sibling rivalry
pada anak sulung umumnya muncul ketika kelahiran adik karena adik
banyak menyita waktu dan perhatian orang tua. Kondisi ini sering
menimbulkan sikap jengkel kakak pada adiknya, karena ketidakberanian
kakak untuk memunculkan sikap jengkel atau kesal yang dirasakan terhadap
orang tua. Untuk menghilangkan rasa jengkel dan kesal itu, adik yang
sering menjadi sasaran amarahnya.
Menurut
Gotlieb & Mendelson (dalam Kail, 2001), lahirnya adik baru
merupakan suatu permasalahan bagi anak sulung, dimana anak sulung harus
membagi rasa cinta, kasih sayang dan perhatian orangtua kepada adiknya.
Berscheid (dalam Sears, Freedman & Peplau, 1999) mengemukakan bahwa
rasa cemburu seringkali berasal dari rasa takut yang dikombinasikan
dengan rasa marah karena adanya ancaman terhadap harga diri seseorang
dan terhadap hubungan (sibling rivalry ).
Menurut
Millman & Schaefer (1989), perasaan itu muncul ketika anak yang
usia lebih besar merasa bahwa kasih sayang dan perhatian orang tuanya
tidak lagi diberikan kepadanya karena telah terbagi oleh adiknya.
Menurut Hurlock (1978), pada sibling rivalry ada dua macam
reaksi. Pertama, bersifat langsung, yang dimunculkan dalam bentuk
perilaku agresif mengarah ke fisik, seperti menggigit, memukul,
mencakar, melukai dan menendang, atau usaha yang dapat diterima secara
sosial untuk mengalahkan saingannya. Kedua, reaksi tidak langsung
bersifat, yang bersifat lebih halus sehingga sukar untuk dikenali,
seperti mengompol, pura-pura sakit, menangis dan menjadi nakal. Menurut
Priatna dan Yulia (2006), reaksi sibling rivalry pada anak yang
lebih tua dapat diekspresikan dengan berbagai macam, antara lain dengan
cara agresi (memukul, melukai adik) dan regresi (suka mengompol dan
menjadi kolokan atau manja, dan rewel) ataupun dengan ber-ekspresi
memandangi adiknya dengan tajam, menggunakan bibir, menangis serta
menjadi pendiam.
Faktor penyebab sibling rivalry
menurut Mulyadi (2000), antara lain karena orang tua membagi perhatian
dengan orang lain, mengidolakan anak tertentu, serta kurangnya pemahaman
diri. Priatna & Yulia (2006) menyebutkan faktor penyebab sibling rivalry
adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, yaitu
faktor yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri anak itu sendiri,
seperti : temperamen, sikap masing-masing anak dalam mencari perhatian
orang tua, perbedaan usia atau jenis kelamin, ambisi anak untuk
mengalahkan anak yang lain. Sedangkan faktor eksternal, yaitu faktor
yang disebabkan karena sikap orang tua yang salah dalam mendidik
anak-anaknya, seperti : sikap membanding-bandingkan, adanya anak emas
diantara anak yang lain. Perasaan sibling rivalry biasanya terjadi antara dua anak atau lebih yang usianya berdekatan. Sibling rivalry biasanya lebih lazim terjadi ketika jarak usia anak antara 1-3 tahun. Sibling rivalry
akan lebih terlihat ketika umur mereka 3 – 5 tahun pada anak-anak dan
terjadi lagi pada umur 8 – 12 tahun pada usia sekolah, dan pada umumnya,
sibling rivalry lebih sering terjadi pada anak yang berjenis kelamin sama dan khususnya perempuan (Millman & Schaefer, 1981).
Orang tua adalah kunci yang mempengaruhi sibling rivalry , namun orang tua pula yang dapat memperkecil terjadinya sibling rivalry . Menurut Millman & Schaffer (1981) ada beberapa peran orang tua untuk mengindari sibling rivalry
di dalam keluarga antara lain: memberikan cinta dan perhatian yang adil
kepada anak, memper-siapkan anak yang lebih tua terhadap kelahiran adik
baru, memperhatikan protes anak terhadap kesalahan orang tua,
memberikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak, sharing antara anak
dengan orang tua.
Kesimpulan
Berdasarkan ciri-ciri perilaku yang ditunjukkan oleh A, dapat
disimpulkan bahwa perilaku agresi yang dilakukan A meliputi agresi
verbal (mengejek, menjulurkan lidah) dan agresi non verbal (memukul,
mendorong, menendang). Perilaku agresi A di rumah termasuk dalam sibling aggression atau agresi yang ditujukan pada saudara laki-laki . Perilaku agresi A disebabkan karena faktor belajar, penguatan dan pengalaman langsung.
Daftar Pustaka
Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif anak . Yogyakarta: Kanisius
Cavell, T. A. (2000). Working With Parents of Aggressive Children . APA: Washington DC
Garandeau, Claire F., & Cillessen, Antonius H.N. ( 2005 ) . From indirect aggression to invisible aggression: A conceptual view on bullying and peer group manipulation. Aggression and Violent Behavior .11. 612– 625
Hartini, L. ( 2009 ) . Agresi Anak Yang Tinggal Dalam Keluarga Dengan Kekerasan Rumah Tangga. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Jakarta: Universitas Guna Dharma
Hurlock, E.B. (1978). Perkembangan Anak . Jakarta: Erlangga
Kail, Robert.V. (2001). Children and Their Development . 2nd edition. London: Prentice Hall
Khumas, A., Hastjarjo, D., & Wimbarti, S. ( 1997 ) . Peran Fantasi Agresi Terhadap Perilaku Agresif Anak-Anak. Jurnal Psikologi. 1. 21 – 29
Koeswara, E.(1988). Agresi manusia .Bandung : PT. Eresco.
Kirsh, Steven J. ( 2006 ) . Cartoon violence and aggression in youth. Aggression and Violent Behavior. 11 . 547–557
Linares, L. Oriana. ( 2006 ) . An understudied form of intra-family violence: Sibling-to-sibling aggression among foster children. Aggression and Violent Behavior . 11. 95– 109
Milman, H.L. & Schaefer, E. (1989). How To Help Children With Common Problem . New York: Von Nostrandrein Hold
Mulyadi, S. (2000). Mengapa Mereka Cemburu . http://google.com/sibling rivalry /indo.net
Myers, D. G. (2002). Social Psychology . 7th Edition. McGraw-Hill Companies, Inc.: North America
Priatna, C. & Yulia, A. (2006). Mengatasi Persaingan Saudara Kandung Pada Anak-Anak. Jakarta: PT. Elex Media Computindo
Santhoso, F. B. ( 1994 ) .
Hubungan antara Minat Terhadap Film Kekerasan di Televisi dan
Intensitas Komunikasi Remaja-Orang Tua dengan Kecenderungan Perilku
Agresif Remaja Di Kotamadya Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Santrock, J. W. (2002) Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidu p . Ed.5. alih Bahasa Juda Damanik & Chusairi, A. Jakarta: Erlangga
Sears, D.O., Jonathan, L.F., Anne, P. (1991). Psikologi Sosial . 5th edition. Alih Bahasa Adriyanto & Soekrisno. Jakarta: Erlangga
Wenar, C., & Kerig, P. ( 2000 ) . Developmental Psycopathology: From Infancy Through Adolescence . Singapore:
Komentar
Posting Komentar