Penjaminan Mutu Pendidikan di Madrasah
Implementasi Penjaminan Mutu Pendidikan di Madrasah
Swasta
Tuntutan terhadap peningkatan mutu
pendidikan tersebut, perlu direspon secara kreatif dan proaktif, dengan
melakukan berbagai upaya perbaikan mutu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan penelitian pada madrasah yang dapat mempertahankan
prestasinya bahkan dapat meningkatkan mutu secara terus-menerus, sehingga dapat
dijadikan acuan bagi sekolah yang prestasi dan mutunya rendah. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka pemerintah menetapkan standar
nasional pendidikan. Sebagaimana disebutkan pada Bab I Pasal 1 ayat 17
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa : “Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Madrasah adalah institusi pendidikan
formal yang penyelenggaraannya ada di bawah binaan Kementerian Agama. Sebagai
organisasi, madrasah seharusnya memiliki visi untuk mensejajarkan dirinya
sebagai institusi yang mempunyai budaya mutu, karena secara legal formal
madrasah merupakan lembaga yang sudah sejajar dengan sekolah, namun kesan
madrasah masih terbelakang menjadi sesuatu yang menarik untuk didalami. Di sisi
lain tuntutan mutu dalam berbagai institusi termasuk madrasah merupakan sesuatu
yang tidak dapat terhindarkan. Dengan sistem pengelolaan yang dilakukan
langsung oleh masyarakat ditambah dengan kondisi masyarakat dimana sebagian
besar dari mereka berasal dari golongan kurang mampu, menyebabkan perkembangan
madrasah tidak secepat sekolah umum.
·
Dilema Model Pendidikan Madrasah
Diakibatkan oleh perkembangan
sejarahnya yang khas, yang diwariskan oleh pemerintahan Kolonial, Indonesia
dikenal menganut sistem dualisme pendidikan – yang dalam pengembangannya cukup
dilematis. Sistem ini menyelenggarakan dua model pendidikan yang dikelola di
bawah naungan dua departemen yang berbeda yaitu Departemen Pendidikan dan
Kementerian Agama.
Dualisme tersebut berdampak pada
kebijakan-kebijakan pemerintah yang juga dualistis – baik yang menyangkut
struktur kurikulum dan tenaga kependidikan maupun pembiayaannya. Sampai pada
tahun 1970-an, struktur kurikulum madrasah 90% bernuansa Islam, sedangkan
sekolah-sekolah umum mengembangkan kurikulum yang 100% bermuatan akademik umum
sedangkan pelajaran keagamaan hanya menempati fungsi suplemen dan atau pilihan.
Perbedaan struktur kurikulum telah berdampak pada strategi penyediaan guru di
Kementerian Agama. Tenaga guru – karena kurikulum sekolah-sekolah Kemenag lebih
menitikberatkan pada pelajaran agama, disediakan dengan lebih banyak menekankan
kualifikasi atau latar belakang pendidikan agama (PAI – Pendidikan Agama Islam).
Untuk kebutuhan ini Kemenag telah mendirikan Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk
memenuhi kebutuhan guru di MI, MTs dan Fakultas Tarbiyah di IAIN-IAIN untuk
kebutuhan guru di MTs dan MA. Bahkan alumni IAIN di luar Fakultas Tarbiyah pun
banyak yang mengisi posisi guru di madrasah MTs dan MA.
Persoalan-persoalan yang dialami oleh
sebagian madrasah swasta adalah : (1) kurangnya dana untuk penyelenggaraan
pendidikan; (2) Kurangnya fasilitas fisik madrasah; (3) pengadaan guru yang
profesional; dan (4) manajemen yang kurang efektif karena campur tangan
yayasan. Sedangkan faktor lain yang menjadi persoalan pada sebagian madrasah
kita adalah : (1) minat siswa masuk madrasah yang masih rendah; (3) madrasah
masih dianggap sekolah ‘kelas dua’ oleh sebagian masyarakat; (4) banyaknya guru
yang missmacth atau kurangnya guru mapel yang sesuai dengan kompetensinya; (5)
siswa madrasah yang sebagian besar tergolong kurang mampu; dan (6) manajemen
yang kurang efektif.
Pada sebagian madrasah swasta masih
sangat tergantung pada uluran dana dari kemenag, tapi secara keseluruhan
madrasah swasta telah mandiri dan tidak bergantung pada dana kemenag. Justru
dengan adanya program sekolah gratis, keberadaan madrasah swasta semakin
tergantung dengan dana BOS dari pemerintah. Program sekolah gratis telah
menghipnotis masyarakat sehingga timbul anggapan bahwa semua sekolah harus
gratis. Sementara dana BOS yang ada kurang bisa memenuhi dana penyelenggaraan
pendidikan. Inilah program yang dianggap telah menurunkan tingkat kemandirian
madrasah maupun sekolah swasta.
Sebagaimana
disebutkan pada Bab I Pasal 1 ayat 17 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa : “Standar nasional pendidikan adalah
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Lebih lanjutnya dijelaskan lagi dalam
Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 telah menepatkan standarisasi
pendidikan di Indonesia melalui delapan standar pendidikan nasional sebagaimana
bunyi dari Bab II pasal 2 ayat 1, yaitu:
1. Standar isi;
2. Standar proses;
3. Standar kompetensi
lulusan;
4. Standar pendidik dan
tenaga kependidikan;
5. Standar sarana dan
prasarana;
6 standar
pengelolaan;
7. Standar pembiayaan;dan
8. Standar penilaian
pendidikan
Pada
Pasal 3 Peraturan Pemerintah di atas juga disebutkan bahwa Standar Nasional
Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sedangkan tujuannya sebagaimana disebutkan pada pasal 4 adalah untuk
menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Pemberlakuan
Standar Nasional Pendidikan adalah pada pendidikan formal. Pendidikan formal
yang dimaksud seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah adalah Pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Madrasah
termasuk penyelenggara pendidikan formal.
Pertumbuhan
kuantitas madrasah seperti terungkap di atas perlu didalami lagi. Apakah
pertumbuhan tersebut disertai dengan peningkatan kualitas/mutu madrasah?
Pertanyaan tersebut menarik untuk diteliti lebih dalam karena memang
penambahan/kuatitas madrasah sepertinya belum berbanding lurus (dibaca :sama)
dengan pertumbuhan kualitas madrasah. Padahal seharusnya pertumbuhan kuantitas
itu harus diimbangangi dengan penguatan kualitas madrasah. Hal ini sebagaimana
Firman Allah dalam QS. Al-Hasyr ayat 18,yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Soenarjo, dkk.,
2006:799)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa seharusnya kita dapat menciptakan sesuatu yang lebih
baik di masa yang akan datang. Begitu juga dengan pendidikan di suatu institusi
seharusnya dari hari ke hari, tahun ke tahun seharusnya meningkat kualitasnya
menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.
Sebagaimana
disebutkan Jerome S.Arcaro (1995) dalam Nana Syaodih 2006:13, bahwa visual
sekolah yang menerapkan mut total ditopang oleh lima pilar, yaitu (1) berfokus
pada pengguna,(2) keterlibatan secara total semua anggota, (3) melakukan
pengukuran, (4) komitmen pada perubahan, serta(5) penyem,purnaan secara terus
menerus. Pilar-pilar tersebut dibangun di atas keyakinan dan nilai-nilai yang
menjadi pegangan dalam pendidikan.keyakinan dan nilai-nilai tersebut sejalan
dengan visi dan misi pendidikan (sekolah), tujuan jangka panjang dan pendek,
serta criteria keberhasilan yang kritis.
Beberapa
prinsip yang digunakan adalah:
1. Berfokus pada pelanggan
Setiap orang di sekolah harus
memahami, bahwa setiap produk pendidikan mempunyai pengguna. Setiap angggota
dan sekolah adalah pemasok (supplier) dan pengguna. Pengguna pertama dari
sekolah adalah keluarga atau disebut Big C dan siswa atau little C .
K eluarga atau orang tua merupakan pemasok. Ada dua macam pengguna, yaitu
pengguna internal dan eksternal. Pengguna internal, seperti orang tua, guru,
administrator, staf dan majelis sekolah. pengguna eksternal, seperti masyarakat
pimpinan perusahaan-industri, lembaga pemerintah, lembaga swasta perguruan
tinggi, dan lembaga keamanan.
2.
Keterlibatan
menyeluruh
Semua orang harus terlibat dalam transformasi mutu.
Manajemen harus komitmen dan terfokus pada peningkatan mutu. Transformasi mutu
harus komitmen dimulai dengan mengadopsi paradigma pendidikan baru. Kepercayaan
lama harus dibuang. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam
mengadopsi paradigma pendidikan baru adalah kualitas pendidikan yang senantiasa
bergantung pada banyaknya uang yang tersedia. kedua, pendidikan
merupakan “a good old boy network” yang menolak keterlibatan pihak-pihak
di luar pendidikan
3. Pengukuran
Pandangan
lama mutu pendidikan atau lulusan dari skor prestasi belajar. Dalam pendekatan
baru, para professional pendidikan harus belajar mengukur mutu pendidikan dari
kemampuan dan kinerja lulusan berdasarkan tuntutan pengguna. Para professional
pendidikan perlu menguasai teknik-teknik pengumpulan dan analisis data, bukan
saja data kemampuan lulusan, melainkan semua data yang terkait dengan kegiatan
dan penunjang pelaksanaan pendidkan. Melalui pengumpulan dan analisi data, para
professional pendidikan akan mengetahui nilai tambah dari pendidikan, kelemahan
dan hambatan yang dihadapi, serta upaya penyempurnaannya.
4. Pendidikan
sebagai sistem
Pendidikan
sebagai system memiliki sejumlah komponen, seperti siswa, guru, kurikulum,
sarana prasarana, media, sumber belajar, orang tua dan lingkungan. Di antara
komponen-komponen tersebut terjalin hubungan yang berkesinambungan dan
keterpaduan dalam pelaksanaan system
5. Perbaikan
berkelanjutan
Setiap
proses perlu diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna perlu selalu
diperbaiki dan disempurnakan.
Secara
garis besar Madrasah swasta dapat memenuhi kebutuhan dengan cara sebagai
berikut.
Pertama, melakukan formalisasi yang ditandai dengan usaha
meningkatkan status sejumlah madrasah swasta menjadi madrasah negeri. Kedua,
melakukan strukturisasi madrasah yang sesuai dengan tuntutan pendidikan
nasional, terutama berkaitan dengan penyeragaman dan penyempurnaan kurikulum
yang digunakannya.
Komentar
Posting Komentar